Minggu, 16 November 2008

O, Pahlawan Negeriku

“Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api”.
Kita selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwartahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gunungan ombak.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanjikepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselimpangan semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:

Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan ke seluruh dunia
Telah bangkit di tanah air kami
Sebuah aksi perlawanan
Terhadapa kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan


Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan, di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud, di Madinah. Karena kerinduan itu. Kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja kami belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan


Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid? Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “merelakan kalian pergi berdemonstrasi.. karena kalian pergi menyempurnakan.. kemerdekaan negeri ini.”
Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata di bahumu?”
Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu.

Diambil dari buku Mencari Pahlawan Indonesia
Kumpulan tulisan karya Anis Matta

Tidak ada komentar: