Selasa, 03 Juni 2008

Meresapi Jiwa Natsir dan Soekarno

Judul Buku : Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin!

Penulis : Eko Prasetyo

Penerbit : Resist Book Jogjakarta

Cetakan : I, Mei 2008

Tebal : 264 Halaman

Pangemanan, seorang tokoh dalam Rumah Kaca, novel legendaris Pramoedya Ananta Toer, pernah berujar, ''Bagaimanapun masih baik dan beruntunglah seorang pemimpin yang dilupakan oleh pengikutnya. Daripada seorang penipu yang berhasil menjadi pemimpin dan banyak pengikutnya...''

Sindiran pahit ini bisa dikata sebagai ruh utama dalam buku Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin! karya Eko Prasetyo ini. Tak jauh beda dengan buku-buku Eko yang lain, buku ini masih disesaki dengan nuansa provokasi dan agitasi positif untuk membakar adrenalin semangat para pembaca, terutama kaum muda. Bedanya, kali ini Eko bersedia menurunkan ''derajat'' pola penulisannya menjadi jauh lebih sederhana, santai, ringkas, dan lugas. Tentu bidikannya agar segmen anak muda (remaja) yang diharapkan sebagai pembaca utamanya dapat mencerna dengan baik dan asyik. Dengan pemakaian bahasa dan pengungkapan popular khas anak gaul, jadilah tulisan dalam buku ini renyah untuk dikunyah. Lebih gokil lagi, nyaris di setiap halamannya bertebaran karikatur dan kartun strip yang jenaka, satir, menggelitik, namun juga menggugah simpul kesadaran kita.

Rasanya tak berlebihan jika dulu Bung Karno pernah lantang berkoar bahwa keberadaan para pemuda (dan juga pemudi) amat vital bagi perjalanan sejarah sebuah bangsa. Di banyak wilayah di dunia, pemuda terbukti mumpuni berperan sebagai lokomotif pembuka sekaligus garda perubahan yang bergerak di barisan terdepan. Sesuatu yang wajar apabila Bung Karno mengibaratkan bahwa andai seribu orang tua hadir bersamanya, mungkin mereka bisa memindah sebuah gunung. Namun, bila harus memilih, ia lebih suka ditemani oleh sepuluh pemuda dengan semangat dan cita-cita yang besar. Karena spirit kawula muda, dalam istilah Soekarno, akan sanggup mengubah wajah dunia.

Tema seputar pemuda dan kepemimpinan sengaja diangkat penulis berangkat dari kegelisahan kronis berupa krisis multiaspek yang saat ini melanda negeri Zamrud Khatulistiwa. Salah satu biang pokok dari segala kesemrawutan yang ada di bangsa ini tak lain karena lumpuhnya kepemimpinan nasional. Langkanya sikap keteladanan yang ditunjukkan para pejabat dan pemimpin kita menjadi faktor terbesar dari lambannya penanggulangan berbagai problema kebangsaan yang nyaris mengalir tanpa henti. Ketika jutaan rakyat menjerit akibat tindihan beban ekonomi, para pemimpin bangsa justru asyik memamerkan pola hidup bak selebriti yang bertabur kemewahan fasilitas negara.

Satu-satunya prestasi fenomenal yang diukir anak bangsa adalah pencapaian angka korupsi yang berada di peringkat teratas dunia. Bukan tanpa dasar jika pada September 2007, PBB mempublikasikan data yang menyebutkan bahwa salah seorang mantan presiden kita berada di ranking tertinggi daftar kepala negara dan mantan kepala negara yang diduga mencuri kekayaan negaranya sendiri dalam jumlah yang besar. Belum lagi gaya flamboyan para politisi yang dengan bangga melakukan praktik korupsi dengan berbagai alasan. Sikap arogan juga terlihat begitu kentara saat mereka alergi terhadap kritik dan aspirasi rakyat yang telah rela memilihnya. Misalnya, mereka tidak terima ketika grup musik Slank menyindir perilaku negatif yang marak di kalangan anggota parlemen. Padahal apa yang disuarakan Slank sejatinya realitas sosial yang nyata dan tak bisa ditutup-tutupi.

Ada tiga tokoh utama yang disodorkan buku ini untuk dijadikan rujukan, paling tidak sebagai bahan permenungan bagi para pemuda (calon pemimpin) serta para pemimpin yang sedang berkuasa. Ketiganya mewakili komunitas dan ranah ideologi yang berbeda. Yakni Moh. Natsir dari kalangan agamis, Soekarno (nasionalis), serta Semaoen (sosialis). Mereka bukan saja berhasil mencontohkan kesederhanaan hidup, kesungguhan bekerja, serta kekokohan idealisme, namun juga menjadi gambaran dari sosok pemimpin yang sukses memimpin dalam usia muda.

Dalam usia belasan tahun mereka sudah menjadi pejuang yang sudi memeras peluh demi kemajuan bangsa dan memerdekakannya dari cengkeraman kolonialisme. Mereka tidak menunggu tua untuk menjadi yang terdepan, akan tetapi sedari dini sudah berani mengambil risiko merebut peluang dan kesempatan menjadi pejuang-pemimpin yang andal. Tepatlah kiranya jika ada slogan bahwa pemuda saat ini adalah pemimpin di kemudian hari. Syubban al-yaum rijaal al-ghad.

Dikisahkan bahwa Natsir muda sangat terobsesi untuk menjadi orang pandai dan bijak seperti gurunya, KH Agoes Salim. Tekad dan kebesaran jiwa para pemuda masa itu tak bisa dikalahkan dan ditukar walaupun dengan tumpukan fasilitas dan jabatan yang dijanjikan lawan. Bersama para pemuda dengan talenta dan semangat baja seperti Sjafroedin Prawiranegara dan Mohamad Hatta, Natsir memperjuangkan aspirasi politik umat Islam. Kendaraan politik yang dipilihnya yakni Masyumi kala itu dikenal sebagai partai politik yang berwibawa dan bersih. Walaupun di antara anggotanya ada yang menjabat sebagai pejabat kabinet (menteri), ada aturan kepartaian yang tegas bahwa kader partai tak boleh sedikit pun memanfaatkan uang negara yang merugikan rakyat.

Natsir adalah simbol dari pribadi yang jenius, bersahaja, dan jauh dari kaya. Ia tak sudi menggadaikan martabat kehormatannya dengan cara menggarong hak-hak rakyat. Hingga akhir hayatnya, ia tidak memiliki rumah tinggal dan harus berpindah-pindah kontrakan. Bayangkan dengan kondisi sekarang, mana ada pejabat sekelas perdana menteri yang hidup kekurangan. Dalam bukunya Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Mizan, 2001), Prof. Deliar Noer mengutip ungkapan duka PM Jepang Takeo Fukuda saat mendengar berita wafatnya Moh. Natsir. Kata Fukuda, ''Wafatnya PM Natsir bagi kami seperti sebuah musibah yang lebih besar dari jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima.''

Walhasil, buku ini penting untuk dibaca oleh siapa pun. Bagi kaum tua, jadikanlah karya ini sebagai cermin koreksi untuk mengaca diri. Mungkin memang sudah waktunya bangsa ini dikelola oleh generasi yang lebih muda. Sedangkan bagi generasi muda, bolehlah Anda ge-er karena buku ini banyak mengungkap ihwal kelebihan potensi kaum muda. Tapi jangan berhenti sampai di situ, karena harapan utamanya adalah kesadaran serta kobaran semangat untuk membuktikan pada dunia bahwa memang pemuda kita bisa bangkit dan layak diberi kesempatan.

Seperti ujaran Jalaluddin Rumi, ''Kamu dilahirkan dengan sepasang sayap. Lalu mengapa kamu lebih suka merangkak dalam meniti hidup?'' (*)

*) Asri Bariqah, bergiat di klub diskusi Stasioen Patemoen Kota Malang.

diambil dari Jawapos.com

Yang Muda Yang Tidak Berdaya (?)

Wajahnya imut seperti remaja ABG kebanyakan. Namun siapa yang menduga kalau pemuda berumur 19 tahun ini istimewa. Letak keistimewaanya bukan karena ia perlente, macho, kaya, keren atau serentetan kriteria menawan ala kehidupan jet z. Tak lain tak bukan karena ia adalah seorang Walikota. Adalah John Tyler seorang mahasiwa yang baru saja masuk di Universitas Oklahoma, berhasil terpilih menjadi seorang Walikota Muskogee, kota di wilayah negara bagian Oklahoma. Dia berhasil mengalahkan rivalnya yang tak lain adalah incumbent Walikota setempat. Yang menakjubkan, John meraih kepercayaan masyarakat dengan perolehan suara 70% !


Penggalan berita tentang John Tyler di atas bukanlah sebuah kebetulan semata tentang bagaimana tokoh muda menjadi tumpuan harapan kepemimpinan. Setidaknya hal tersebut telah digoreskan sejarah akan bukti ilmiahnya. Ambil contoh adalah terpilihnya Leon Bostein sebagai rektor New Hampshire's Franconia College pada tahu 1970. Dia terpilih pada umur 23 tahun, dan tercatat sebagai rektor termuda sepanjang sejarah Amerika. Bukan hanya itu, F.D. Roosevelt berumur 42 tahun menjadi Presiden, JFK 43 tahun menjadi Presiden, Bill Clinton 42 tahun menjadi Presiden, dan Tony Blair 43 tahun menjadi Perdana Menteri. Di Amerika saat ini pun "demam" tokoh muda dibuktikan dengan naik daunya Barrack Obama (46 tahun). Hal ini terbukti dengan perolehan dukungan total yang diperolehnya saat ini sebesar 1.889 melebihi pesaing terketatnya Hillary Clinton sebesar 1.729 yang merupakan figur lama. Sedangkan di Tanah Air kehadiran tokoh muda dalam estafet kepemimpinan ditandai dengan kemunculan Anis Baswedan yang diangkat menjadi rektor Universitas Paramadina pada umur 38 tahun dan Prof. DR. Gumilar sebagai Rektor UI pada usia 44 tahun. Bahkan Prof. DR. Gumilar tercatat sebagai rektor termuda dalam sejarah UI.

Munculnya harapan terkait tokoh muda untuk memegang tongkat kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari adanya isu pembaharuan. Masyarakat sudah jenuh dengan figur lama, mereka merasa pergantian pemimpin dari tahun ke tahun sudah jumud, membosankan. Mereka butuh penyegaran. Kejenuhan ini memutar orientasi kepercayaan mereka untuk mencoba alternatif pemimpin. Di saat yang tepat munculah tokoh muda yang akhirnya menjadi tempat berlabuh harapan dan mimpi besar akan perubahan.

Memutar terus roda Reformasi dalam rangka me-reform Indonesia memerlukan kualitas prima dari gebrakan ide dan semangat. Sedangkan syarat seperti ini hanya muncul dari pemimpin yang enerjik. Pemimpin yang enerjik tidak akan pernah muncul tanpa adanya ruang kesempatan yang panjang dan luas yang diberikan kepada tokoh muda.

Bukan Masalah Kemampuan

Banyak wacana dan diskursus yang mempertanyakan kepemimpinan tokoh muda terkait kemampuan mereka. Argumentasi yang sering dipakai adalah kalau figur lama saja belum mampu menyelesaikan masalah kebangsaan yang pelik apalagi mereka yang miskin pengalaman dan baru saja menjadi pemimpin. Namun demikian tidaklah arif sekiranya diskursus itu justru berputar lebih kencang dari pada pemberian kesempatan dan dukungan pada pemuda itu sendiri untuk membangun dan memimpin. Pemberian kesempatan adalah salah satu solusi yang patut dilakukan sebagai upaya bersama membangun motivasi tokoh muda untuk berkarya dari pada debat kusir masalah kemampuan yang tak lebih justru malah menjatuhkan mental.

Kesadaran akan perlunya bangsa ini mulai percaya dan memberi kesempatan tokoh mudanya untuk memimpin harus mulai dibangun. Pemuda harus diberikan kesempatan dalam merealisasikan idealismenya terhadap perbaikan lingkungan strategis yang melingkupinya. Dan di sinilah peran nyata tokoh muda dalam pembaharuan sebagai moral force dan agent of change (agen perubahan sosial) itu berwujud. Selama ini yang terjadi adalah munculnya pesimisme di tataran elit lama akan kepemimpinan tokoh muda. Jadi persoalanya bukan pada masalah kemampuan dan keunggulan dari tokoh muda untuk memimpin, namun lebih pada tidak diberikanya pilihan yang lebih luas kepada publik secara konsisten untuk memilih tokoh muda sebagai pemimpin.

Kemenangan HADE (Ahmad Heryawan) di Pilgub Jabar dan Syampurno (Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho) di Pilgub Sumsel adalah angin segar akan kepemimpinan tokoh muda. Seharusnya hal ini dapat meyakinkan elemen bangsa tentang kepercayaan masyarakat yang sudah mulai berorientasi untuk mencari alternatif figur muda sebagai pemimpin. Oleh karena itu sudah tidak layak lagi mempertanyakan kemampuan tokoh muda untuk memimpin, karena kini hanya masalah kesempatan dan kepercayaan.

Zaman ini adalah Zaman Kita!

Sangatlah tidak mudah untuk membangun kembali Indonesia. Negara yang pernah mendapat julukan dari salah satu majalah internasional sebagai " negara paling sulit bagi seorang Presiden" ini harus mulai sedikit demi sedikit diperbaiki secara koordinatif dan massif. Salah satu yang bisa dilakukan saat ini adalah para pemuda melakukan konsolidasi diri. Bagaimanapun tak akan pernah dicapai sebuah visi besar kepemimpinan kaum muda selama terjadi parsialisaasi; bekerja sendiri-sendiri. Menurut Pan Mohammad Faiz (Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India) pada tahun 2007 tercatat mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia ada 20.000, di Malaysia 26.000, di Mesir 5.000, di Jepang 1.500, di Amerika Serikat 13.000, di Inggris 3.000, dan puluhan ribu lainya tersebar di Eropa dan Afrika. Sehingga langkah yang tepat adalah bagaimana membangun jejaring di antara keterpisahan jarak tersebut. Pada konsolidasi tersebut perlu dibangun kesadaran pentingnya mereka yang melakukan studi di luar negeri untuk segera kembali ke tanah air ketika telah selesai belajar. Karena keberadaan mereka belajar di luar negri akan sangat bermanfaat ketika keahlian itu dikontribusikan untuk bisa mengisi pos-pos kepemimpinan dalam melakukan terobosan-terobosan dalam pembangunan Indonesia. Sebagaimana yang telah dilakukan para intelektual muda pendahulu kita yang menempuh pendidikan di Belanda, bersama Moh. Hatta mereka mendirikan Pendidikan Nasional dengan tujuan membangun basis pendidikan ilmu pengetahuan kepada segenap rakyat Indonesia (Nicholas Tarling, 1999).

Konsolidasi ini adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana selalu dilakukan di berbagai belahan bangsa. Forum Ekonomi Dunia setiap tahunya mengumpulkan para tokoh muda. Sesi ini dinamakan Young Global Leader yang mengundang calon pemimpin bangsa berusia di bawah 40 tahun untuk berdiskusi terkait permasalahan kemasyarakatan global. Di Perancis tiap tahunya mengadakan Temu Pemuda Internasional (Recontres Internationales de Jeunes) dalam rangka membahas arah pergerakan mahasiswa dan kontribusinya tatkala mereka tengah belajar di seluruh penjuru dunia. Di tataran palemen Indonesia telah ada sekumpulan kaum muda yang mengorganisasaikan diri ke dalam "Kaukus Muda Parlemen Indonesia".

Abad ke-21 adalah abad kebangkitan dari tokoh muda, dimana ditandai dengan semakin berperanya tokoh muda dalam perubahan dunia. Sudah 10 tahun reformasi hingga saat ini bergulir, dan saatnya para pemuda menghimpun diri dalam barisan yang lebih rapi dan terarah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Tepatlah apa yang dikatakan Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam bukunya: "Our Time is Now: young People Changing The Wolrd", dan premis "Yang Muda Yang Tidak Berdaya" tidak akan berlaku lagi!

Alfan Khusaeri, ST. (Sekretaris Umum DPD PKS Kota Surabaya)