Jumat, 18 Januari 2008

Cermin Diri

Setiap hari kehidupan ini tak lepas dari cermin. melalui cermin banyak hal yang dapat dilihat dalam diri manusia. refleksi diri.. bercermin diri.. apa yang telah dilakukan selama ini.. dosa-dosa dan segala kesalahan yang pernah dilakukan.. seolah terlihat jelas dalam cermin.. wajah yang penuh dosa..
Kebohongan diri.. apabila ditelusuri lagi diri ini berapa banyak dosa yang ada di balik kebaikan yang sedikit itu?? Sadarkah bahwa dibalik kebaikan yang terlihat ternyata banyak keburukannya?? SAdarilah..
Setelah puas memandangnya dan memahaminya, adakah usaha mengubahnya dan menjadikan lebih baik? Atau tak peduli akan semua itu?
sekali lagi manusia tak tahu dimana dan kapan dirinya akan berakhir.. baik atau burukkah??

Meyakini bahwa ada dua kutub kehidupan setelah ini.. surga atau neraka.. Tempat yang memang Allah hadiahkan untuk makhluk-Nya.. hadiah yang baik dan hadiah yang buruk.. semua berbalas sesuai apa yang telah dilakukannya didunia..
Teringat perkataan sastrawan terkenal Arab masa lalu Nasirudin Hoja, aku tak pantas menuju surgaMu, namun tak pula aku sanggup ke nerakamu.. Itu mungkin menjadi kata-kata yang menggambarkan seluruh manusia.. tak ada keyakinan pasti kehidupan akhirat.. hanya Allah yang menentukan..

Dosa-dosa memang telah terlaksana.. output berupa kata-kata dan kekotoran hati manusia adalah sumber dosa.. bahkan mata, telinga, kaki, tangan, kulit sekalipun melaksanakan dosa.. Apakah kita sadar?? apakah ingin terus berdosa atau meminta dihapuskan-Nya??

Sekali lagi tak seorang pun tahu dimana dirinya berakhir.. namun tetaplah berjuang untuk raih yang terbaik menuju keridhoan-Nya..

nizar arafah
di sepinya kamar BM III

ternyata diri ini penuh dosa..

Islam, Politik, dan Demokrasi

Masyarakat Indonesia secara umum telah menganggap bahwa Islam dan politik sangatlah tidak berkaitan. Islam hanya menjadi sesuatu yang hanya dimiliki orang atau sekelompok orang saat memasuki lingkup masjid dan pesantren saja, sama sekali tidak berhubungan dengan politik dan kenegaraan. Wajar saja ada anggapan bahwa seorang ulama/pendakwah yang bermain di politik sudah tidak layak lagi disebut sebagai ulama atau bahkan dijauhi, karena masyarakat beranggapan bahwa politik itu bukan lahan yang layak untuk di-Islamkan.

Perlu sekali masyarakat dipahamkan tentang ke-integral-an Islam. Islam bukanlah sesuatu yang parsial. Islam juga menangani masalah sosial, perundang-undangan, ekonomi, bahkan sampai ke bidang perpolitikan. Dalam kenyataannya banyak sekali dalam Al-Qur’an dibahas tentang kesempurnaan Islam tersebut, sehingga mampu mematahkan pemahaman umum dan kaum sekuler bahwa Islam hanya basis masjid atau pesantren saja.

Politik merupakan subsistem dari Islam. Politik dalam Islam sangat berbeda sekali dengan anggapan kebanyakan masyarakat. Politik yang sangat jauh dari permusuhan buta bahkan penuh dengan kebajikan. Bahkan dapat menentramkan keadaan suatu bangsa karena muncul rasa percaya terhadap politikus. Melalui jalan politik kesempurnaan Islam bisa dicapai.

Dalam politik Islam saat ini sebenarnya tidak jauh dari keterlibatan sistem demokrasi. Demokrasi yang berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) memiliki peran tersendiri dalam perpolitikan dunia. Apabila diteliti lebih lanjut, paham demokrasi merupakan suatu paham yang lebih baik daripada paham-paham buatan manusia yang lainnya. Demokrasi memiliki akar yang dekat dengan Islam dimana sistem ini disusun untuk mewadahi heterogenitas yang mengusahakan jauh dari konflik. Walaupun bisa saja demokrasi dijadikan alat kejahatan sekalipun. Seperti pisau, dapat digunakan untuk mengupas buah-buahan atau untuk membunuh lawan. Jadi demokrasi hanya merupakan alat saja. Tidak lebih.

Apa yang menyebabkan masyarakat bahkan ummat Islam sendiri memahami keparsialan Islam? Penyesatan-penyesatan pemahaman ini merupakan pekerjaan dari penguasa-penguasa yang sangat tidak ingin adanya kesatuan ummat yang tentu saja dapat menjatuhkan kekuasaan-kekuasaan sang penguasa tersebut, ketidaksenangan barat terhadap Islam, belum lagi dengan agenda-agenda yang menyudutkan ummat Islam seperti masalah perang melawan teroris. Ditambah perseteruan antara sekuler dan Islam dengan usaha penuduhan dan pembusukan akan adanya kaum sektarian di dunia perpolitikan. Ini merupakan permasalahan yang sudah bergulir sejak dulu. Seperti yang telah dilakukan para penguasa Orde Baru untuk membungkam suara ummat Islam.

Apabila teringat tentang Piagam Madinah maka teringat pula tentang toleransi dalam kehidupan sosial, supremasi hukum, keseimbangan kekuasaan, penghargaan terhadap kaum minoritas yang dikontrol dengan bijak oleh pemerintahan Islam di masa Rasulullah. Heterogenitas dalam masyarakat merupakan suatu kemestian namun bukan berarti konflik harus selalu ada. Untuk saat ini memang sulit untuk diwujudkan pemerintahan Islam yang sempurna, maka demokrasilah yang merupakan paham yang paling dekat dengan cara Islam dibandingkan paham-paham lain. Sehingga demokrasi cukup pantas dijadikan sebagai alat perjuangan menuju kejayaan Islam.

Tetapi masih ada masalah saat ini, sudahkah para pemimpin-pemimpin Islam mampu membuktikan kemampuan dalam memimpin bangsa? Jangan-jangan hal ini yang masih menjadi kendala pemimpin-pemimpin Islam dalam menggapai kepercayaan dari masyarakat. Maka sudah saatnya memunculkan pemimpin-pemimpin Islam yang mumpuni dan dipercaya masyarakat di alam demokrasi ini.

Pemenangan wacana oleh pemimpin-pemimpin Islam akan kemampuan Islam sebagai solusi permasalahan ummat dapat diusahakan melalui alat demokrasi. Dengan memenangkan demokrasi maka diharapkan kelanjutan untuk membuktikan bahwa Islam dapat dipercaya dan mampu mengatasi masalah bangsa. Setelah itu adalah saat tugas pemimpin dan ummat untuk membuktikan kesempurnaan Islam Sekali lagi semua butuh bukti dan Islam akan tegak walau menggunakan “alat” demokrasi. Hal itu bukan merupakan utopis.


Oleh:
Aan Setiawan Mahasiswa Teknik Fisika ITB

Senin, 07 Januari 2008

Bangun dari Mimpi "Republik Mimpi"


Saat melihat televisi mendengar tawaan terhadap negeri ini, saya tersenyum kecut. Bagaimana tidak bangsa yang dipijak ditertawai sendiri. Saya melihat tawaan tersebut bukannya membangun tapi hanya jadi ajang kritik "tawa" kosong. Tidak memberikan manfaat nyata, hanya kepuasan "menertawai diri sendiri". Belum lagi kata-kata yang dikeluarkan cukup menusuk terkadang untuk diri sendiri. Saya ingin bertanya apakah yang berbicara menyadari ia adalah bagian dari republik nyata ini?? Apakah ia senang negeri ini spserti ini?? Apa nggak ada kerjaan lain yang lebih jelas?? Wajar saja muncul puisi Tufik Ismail "Malu Aku Jadi Orang Indonesia"...

Sepertinya harus kita matikan televisi dan bangun untuk membangun negeri ini bukan menertawainya. Bukan duduk dan menghipnotis diri dengan suguhan yang hanya memuaskan nafsu tawa kosong..
Mari bangun bangsa ini dengan segenap potensi kita.. kerahkan potensi terbaik yang kita miliki untuk kesejahteraan bangsa..

Berpikir berbeda untuk membangun bangsa..