Wajahnya imut seperti remaja ABG kebanyakan. Namun siapa yang menduga kalau pemuda berumur 19 tahun ini istimewa. Letak keistimewaanya bukan karena ia perlente, macho, kaya, keren atau serentetan kriteria menawan ala kehidupan jet z. Tak lain tak bukan karena ia adalah seorang Walikota. Adalah John Tyler seorang mahasiwa yang baru saja masuk di Universitas Oklahoma, berhasil terpilih menjadi seorang Walikota Muskogee, kota di wilayah negara bagian Oklahoma. Dia berhasil mengalahkan rivalnya yang tak lain adalah incumbent Walikota setempat. Yang menakjubkan, John meraih kepercayaan masyarakat dengan perolehan suara 70% !
Penggalan berita tentang John Tyler di atas bukanlah sebuah kebetulan semata tentang bagaimana tokoh muda menjadi tumpuan harapan kepemimpinan. Setidaknya hal tersebut telah digoreskan sejarah akan bukti ilmiahnya. Ambil contoh adalah terpilihnya Leon Bostein sebagai rektor New Hampshire's Franconia College pada tahu 1970. Dia terpilih pada umur 23 tahun, dan tercatat sebagai rektor termuda sepanjang sejarah Amerika. Bukan hanya itu, F.D. Roosevelt berumur 42 tahun menjadi Presiden, JFK 43 tahun menjadi Presiden, Bill Clinton 42 tahun menjadi Presiden, dan Tony Blair 43 tahun menjadi Perdana Menteri. Di Amerika saat ini pun "demam" tokoh muda dibuktikan dengan naik daunya Barrack Obama (46 tahun). Hal ini terbukti dengan perolehan dukungan total yang diperolehnya saat ini sebesar 1.889 melebihi pesaing terketatnya Hillary Clinton sebesar 1.729 yang merupakan figur lama. Sedangkan di Tanah Air kehadiran tokoh muda dalam estafet kepemimpinan ditandai dengan kemunculan Anis Baswedan yang diangkat menjadi rektor Universitas Paramadina pada umur 38 tahun dan Prof. DR. Gumilar sebagai Rektor UI pada usia 44 tahun. Bahkan Prof. DR. Gumilar tercatat sebagai rektor termuda dalam sejarah UI.
Munculnya harapan terkait tokoh muda untuk memegang tongkat kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari adanya isu pembaharuan. Masyarakat sudah jenuh dengan figur lama, mereka merasa pergantian pemimpin dari tahun ke tahun sudah jumud, membosankan. Mereka butuh penyegaran. Kejenuhan ini memutar orientasi kepercayaan mereka untuk mencoba alternatif pemimpin. Di saat yang tepat munculah tokoh muda yang akhirnya menjadi tempat berlabuh harapan dan mimpi besar akan perubahan.
Memutar terus roda Reformasi dalam rangka me-reform Indonesia memerlukan kualitas prima dari gebrakan ide dan semangat. Sedangkan syarat seperti ini hanya muncul dari pemimpin yang enerjik. Pemimpin yang enerjik tidak akan pernah muncul tanpa adanya ruang kesempatan yang panjang dan luas yang diberikan kepada tokoh muda.
Bukan Masalah Kemampuan
Banyak wacana dan diskursus yang mempertanyakan kepemimpinan tokoh muda terkait kemampuan mereka. Argumentasi yang sering dipakai adalah kalau figur lama saja belum mampu menyelesaikan masalah kebangsaan yang pelik apalagi mereka yang miskin pengalaman dan baru saja menjadi pemimpin. Namun demikian tidaklah arif sekiranya diskursus itu justru berputar lebih kencang dari pada pemberian kesempatan dan dukungan pada pemuda itu sendiri untuk membangun dan memimpin. Pemberian kesempatan adalah salah satu solusi yang patut dilakukan sebagai upaya bersama membangun motivasi tokoh muda untuk berkarya dari pada debat kusir masalah kemampuan yang tak lebih justru malah menjatuhkan mental.
Kesadaran akan perlunya bangsa ini mulai percaya dan memberi kesempatan tokoh mudanya untuk memimpin harus mulai dibangun. Pemuda harus diberikan kesempatan dalam merealisasikan idealismenya terhadap perbaikan lingkungan strategis yang melingkupinya. Dan di sinilah peran nyata tokoh muda dalam pembaharuan sebagai moral force dan agent of change (agen perubahan sosial) itu berwujud. Selama ini yang terjadi adalah munculnya pesimisme di tataran elit lama akan kepemimpinan tokoh muda. Jadi persoalanya bukan pada masalah kemampuan dan keunggulan dari tokoh muda untuk memimpin, namun lebih pada tidak diberikanya pilihan yang lebih luas kepada publik secara konsisten untuk memilih tokoh muda sebagai pemimpin.
Kemenangan HADE (Ahmad Heryawan) di Pilgub Jabar dan Syampurno (Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho) di Pilgub Sumsel adalah angin segar akan kepemimpinan tokoh muda. Seharusnya hal ini dapat meyakinkan elemen bangsa tentang kepercayaan masyarakat yang sudah mulai berorientasi untuk mencari alternatif figur muda sebagai pemimpin. Oleh karena itu sudah tidak layak lagi mempertanyakan kemampuan tokoh muda untuk memimpin, karena kini hanya masalah kesempatan dan kepercayaan.
Zaman ini adalah Zaman Kita!
Sangatlah tidak mudah untuk membangun kembali Indonesia. Negara yang pernah mendapat julukan dari salah satu majalah internasional sebagai " negara paling sulit bagi seorang Presiden" ini harus mulai sedikit demi sedikit diperbaiki secara koordinatif dan massif. Salah satu yang bisa dilakukan saat ini adalah para pemuda melakukan konsolidasi diri. Bagaimanapun tak akan pernah dicapai sebuah visi besar kepemimpinan kaum muda selama terjadi parsialisaasi; bekerja sendiri-sendiri. Menurut Pan Mohammad Faiz (Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India) pada tahun 2007 tercatat mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia ada 20.000, di Malaysia 26.000, di Mesir 5.000, di Jepang 1.500, di Amerika Serikat 13.000, di Inggris 3.000, dan puluhan ribu lainya tersebar di Eropa dan Afrika. Sehingga langkah yang tepat adalah bagaimana membangun jejaring di antara keterpisahan jarak tersebut. Pada konsolidasi tersebut perlu dibangun kesadaran pentingnya mereka yang melakukan studi di luar negeri untuk segera kembali ke tanah air ketika telah selesai belajar. Karena keberadaan mereka belajar di luar negri akan sangat bermanfaat ketika keahlian itu dikontribusikan untuk bisa mengisi pos-pos kepemimpinan dalam melakukan terobosan-terobosan dalam pembangunan Indonesia. Sebagaimana yang telah dilakukan para intelektual muda pendahulu kita yang menempuh pendidikan di Belanda, bersama Moh. Hatta mereka mendirikan Pendidikan Nasional dengan tujuan membangun basis pendidikan ilmu pengetahuan kepada segenap rakyat Indonesia (Nicholas Tarling, 1999).
Konsolidasi ini adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana selalu dilakukan di berbagai belahan bangsa. Forum Ekonomi Dunia setiap tahunya mengumpulkan para tokoh muda. Sesi ini dinamakan Young Global Leader yang mengundang calon pemimpin bangsa berusia di bawah 40 tahun untuk berdiskusi terkait permasalahan kemasyarakatan global. Di Perancis tiap tahunya mengadakan Temu Pemuda Internasional (Recontres Internationales de Jeunes) dalam rangka membahas arah pergerakan mahasiswa dan kontribusinya tatkala mereka tengah belajar di seluruh penjuru dunia. Di tataran palemen Indonesia telah ada sekumpulan kaum muda yang mengorganisasaikan diri ke dalam "Kaukus Muda Parlemen Indonesia".
Abad ke-21 adalah abad kebangkitan dari tokoh muda, dimana ditandai dengan semakin berperanya tokoh muda dalam perubahan dunia. Sudah 10 tahun reformasi hingga saat ini bergulir, dan saatnya para pemuda menghimpun diri dalam barisan yang lebih rapi dan terarah untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Tepatlah apa yang dikatakan Sheila Kinkade dan Christina Macy dalam bukunya: "Our Time is Now: young People Changing The Wolrd", dan premis "Yang Muda Yang Tidak Berdaya" tidak akan berlaku lagi!
Alfan Khusaeri, ST. (Sekretaris Umum DPD PKS Kota Surabaya)
2 komentar:
yeah... hidup balita... di bawah lima puluh tahun...
Aan, ko banyak postingan orang disini? mana pemikiranmu sendiri?
Semoga kita bisa menjadi pemimpin (mmuda) yang baik, minimal terhadap diri sendiri.
(numpang ngelink ya)
Posting Komentar