Masyarakat Indonesia secara umum telah menganggap bahwa Islam dan politik sangatlah tidak berkaitan. Islam hanya menjadi sesuatu yang hanya dimiliki orang atau sekelompok orang saat memasuki lingkup masjid dan pesantren saja, sama sekali tidak berhubungan dengan politik dan kenegaraan. Wajar saja ada anggapan bahwa seorang ulama/pendakwah yang bermain di politik sudah tidak layak lagi disebut sebagai ulama atau bahkan dijauhi, karena masyarakat beranggapan bahwa politik itu bukan lahan yang layak untuk di-Islamkan.
Perlu sekali masyarakat dipahamkan tentang ke-integral-an Islam. Islam bukanlah sesuatu yang parsial. Islam juga menangani masalah sosial, perundang-undangan, ekonomi, bahkan sampai ke bidang perpolitikan. Dalam kenyataannya banyak sekali dalam Al-Qur’an dibahas tentang kesempurnaan Islam tersebut, sehingga mampu mematahkan pemahaman umum dan kaum sekuler bahwa Islam hanya basis masjid atau pesantren saja.
Politik merupakan subsistem dari Islam. Politik dalam Islam sangat berbeda sekali dengan anggapan kebanyakan masyarakat. Politik yang sangat jauh dari permusuhan buta bahkan penuh dengan kebajikan. Bahkan dapat menentramkan keadaan suatu bangsa karena muncul rasa percaya terhadap politikus. Melalui jalan politik kesempurnaan Islam bisa dicapai.
Dalam politik Islam saat ini sebenarnya tidak jauh dari keterlibatan sistem demokrasi. Demokrasi yang berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) memiliki peran tersendiri dalam perpolitikan dunia. Apabila diteliti lebih lanjut, paham demokrasi merupakan suatu paham yang lebih baik daripada paham-paham buatan manusia yang lainnya. Demokrasi memiliki akar yang dekat dengan Islam dimana sistem ini disusun untuk mewadahi heterogenitas yang mengusahakan jauh dari konflik. Walaupun bisa saja demokrasi dijadikan alat kejahatan sekalipun. Seperti pisau, dapat digunakan untuk mengupas buah-buahan atau untuk membunuh lawan. Jadi demokrasi hanya merupakan alat saja. Tidak lebih.
Apa yang menyebabkan masyarakat bahkan ummat Islam sendiri memahami keparsialan Islam? Penyesatan-penyesatan pemahaman ini merupakan pekerjaan dari penguasa-penguasa yang sangat tidak ingin adanya kesatuan ummat yang tentu saja dapat menjatuhkan kekuasaan-kekuasaan sang penguasa tersebut, ketidaksenangan barat terhadap Islam, belum lagi dengan agenda-agenda yang menyudutkan ummat Islam seperti masalah perang melawan teroris. Ditambah perseteruan antara sekuler dan Islam dengan usaha penuduhan dan pembusukan akan adanya kaum sektarian di dunia perpolitikan. Ini merupakan permasalahan yang sudah bergulir sejak dulu. Seperti yang telah dilakukan para penguasa Orde Baru untuk membungkam suara ummat Islam.
Apabila teringat tentang Piagam Madinah maka teringat pula tentang toleransi dalam kehidupan sosial, supremasi hukum, keseimbangan kekuasaan, penghargaan terhadap kaum minoritas yang dikontrol dengan bijak oleh pemerintahan Islam di masa Rasulullah. Heterogenitas dalam masyarakat merupakan suatu kemestian namun bukan berarti konflik harus selalu ada. Untuk saat ini memang sulit untuk diwujudkan pemerintahan Islam yang sempurna, maka demokrasilah yang merupakan paham yang paling dekat dengan cara Islam dibandingkan paham-paham lain. Sehingga demokrasi cukup pantas dijadikan sebagai alat perjuangan menuju kejayaan Islam.
Tetapi masih ada masalah saat ini, sudahkah para pemimpin-pemimpin Islam mampu membuktikan kemampuan dalam memimpin bangsa? Jangan-jangan hal ini yang masih menjadi kendala pemimpin-pemimpin Islam dalam menggapai kepercayaan dari masyarakat. Maka sudah saatnya memunculkan pemimpin-pemimpin Islam yang mumpuni dan dipercaya masyarakat di alam demokrasi ini.
Pemenangan wacana oleh pemimpin-pemimpin Islam akan kemampuan Islam sebagai solusi permasalahan ummat dapat diusahakan melalui alat demokrasi. Dengan memenangkan demokrasi maka diharapkan kelanjutan untuk membuktikan bahwa Islam dapat dipercaya dan mampu mengatasi masalah bangsa. Setelah itu adalah saat tugas pemimpin dan ummat untuk membuktikan kesempurnaan Islam Sekali lagi semua butuh bukti dan Islam akan tegak walau menggunakan “alat” demokrasi. Hal itu bukan merupakan utopis.
Oleh:
Aan Setiawan Mahasiswa Teknik Fisika ITB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar